Senin, 22 Oktober 2018 - 17:28:32 WIB
Mikroplastik: ancaman yang mengintai di lautan!
Diposting oleh : Pusat Penelitian Kimia LIPI
Kategori: Artikel - Dibaca: 3235 kali

Mikroplastik didefinisikan sebagai plastik yang berukuran kurang dari 5 mm. Mikroplastik terbentuk dari hasil penguraian produk-produk berbahan plastik akibat pengaruh makhluk hidup (terutama mikoorganisme), cahaya, oksidasi pada suhu sedang, dan hidrolisis1. Berbagai studi menunjukkan bahwa lautan dan berbagai biota laut telah tercemar bahan tersebut. Cordova et al., peneliti Pusat Penelitian Oseanografi LIPI,  menemukan mikroplastik di semua sampel air laut pada berbagai kedalaman di  Perairan Sumba dan semua sampel sedimen pada kedalaman 3-5 meter di Perairan Lombok2,3. Cordova dan Wahyudi juga menemukan mikroplastik pada 8 dari 10 sampel sedimen yang diperoleh dari perairan Sumatera Barat4.

Eriksen et al. melakukan studi pemodelan terhadap jumlah dan berat plastik yang mencemari lautan dan hasilnya sangat mengkhawatirkan. Mereka memperkirakan terdapat lebih dari 5 juta trilyun serpihan-serpihan plastik di lautan, dengan berat total melebihi 250.000 ton5. Prediksi Jambeck et al. lebih mencemaskan. Mereka memperkirakan pada tahun 2010, 192 negara-negara yang berbatasan dengan pantai telah menyumbang 5,3 – 14 juta ton cemaran plastik di lautan6.

Mengingat tingginya frekuensi ditemukannya mikroplastik pada sampel air laut atau sedimen, maka tidak mencengangkan jika kontaminasi tersebut juga diamati pada biota laut. Rochman et al. menemukan 28% sampel ikan yang dijual di salah satu pasar di Makassar mengandung mikroplastik pada organ pencernaannya7. Hal yang serupa juga ditemukan di berbagai daerah lain, termasuk California (USA), Cina, Iran, Saudi Arabia, Belgia, Perancis, Itali, UK, Brazil, dan Portugis. Sekitar 25% sampel ikan dan kerang-kerangan yang diperoleh di California terbukti mengandung mikroplastik7. Murray dan Cowie menyebutkan bahwa 100 dari 120 lobster Norwegia yang ditangkap di Perairan Clyde, Inggris telah tercemar mikroplastik terutama pada sistem pencernaannya8. Mikroplastik pada ikan juga diamati di Laut Merah oleh Baalkhuyur et al.9

Karena ukurannya yang kecil, mikroplastik dapat masuk ke dalam tubuh biota laut. Mekanisme yang utama diduga melalui pencernaan, baik secara aktif (contohnya ikan memakan mikroplastik karena menduga benda tersebut adalah makanannya) atau pasif (filtrasi air secara pasif atau memakan deposit di dasar perairan). Mikroplastik dapat berbahaya bagi biota laut yang mencernanya karena monomer atau bahan tambahan yang bersifat toksik yang terkandung dalam plastik dapat bermigrasi ke biota tersebut dan persistent organic pollutants (POPs) yang berada di air laut dapat terserap oleh plastik dan bertambah konsentrasinya seiring dengan waktu dan pergerakan arus laut yang membawa mikroplastik.  POPs dapat terserap oleh plastik karena memiliki tingkat kepolaran yang serupa. Di samping sebagai vektor bagi senyawa toksik, mikroplastik juga diduga dapat mengiritasi sistem pencernaan. Mikroplastik yang berukuran kurang dari 20 µm dikhawatirkan dapat terserap oleh getah bening, vena portal, dan bahkan organ dan mengganggu fungsinya10. Hingga saat ini, studi bahaya mikroplastik pada manusia masih sangat terbatas sehingga informasinya belum konklusif.

Mikroplastik yang ditemukan di lingkungan umumnya berasal dari kegiatan yang berbasis di daratan (terutama pembuangan limbah rumah tangga dan industri), namun tidak menutup kemungkinan kegiatan yang berbasis di lautan (penangkapan ikan, aktivitas pengeboran minyak, kegiatan wisata laut, dan sebagainya). Cemaran plastik di lautan diperkirakan berasal dari kantong plastik, kemasan, kosmetik, jaring nelayan, dan sebagainya. Earth Day Network mengestimasi penggunaan kantong plastik di tingkat global mencapai 4 trilyun per tahun sementara hanya satu persen dari jumlah ini yang didaur ulang11. Mengingat kontributor utama cemaran mikroplastik adalah limbah, maka sistem penanganan limbah berpengaruh signifikan terhadap tingkat pencemaran. Banyak negara-negara yang belum menerapkan cara penanganan limbah yang semestinya. Studi yang dilakukan Jambeck et al. menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara pesisir dengan tingkat penanganan sampah paling buruk kedua, setelah Cina, dengan tingkat penanganan yang buruk terhadap sampah plastik mencapai 10.1% dan jumlah serpihan plastik di lautan Indonesia diperkirakan berkisar antara 0.53 – 1.42 juta ton6.

Jika persoalan pencemaran sampah plastik ini tidak diatasi, maka tingkat pencemaran akan terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dunia. Selain dengan perbaikan sistem penanganan sampah plastik, tindakan-tindakan preventif juga perlu ditingkatkan. Jumlah sampah plastik dapat ditekan dengan mengurangi penggunaan kantung plastik/produk-produk berbahan plastik dan mensubstitusi plastik dengan bahan-bahan yang lebih mudah terdegradasi sempurna. Perlu disadari bahwa kesadaran masyarakat untuk melakukan tindakan-tindakan di atas perlu dikembangkan, baik dengan menggencarkan penyebaran informasi mengenai bahaya yang dapat ditimbulkan akibat limbah plastik atau cara-cara mudah untuk mengurangi penggunaan plastik. Pemerintah juga diharapkan untuk berperan aktif dalam hal ini, misalnya dengan penerapan biaya tambahan bagi penggunaan kantung plastik di supermarket dan minimarket; perbaikan sistem penanganan limbah; dan peningkatan kesadaran masyarakat yang dapat dimulai dari lembaga pendidikan, fasilitas publik, dan lembaga-lembaga pemerintahan. Lembaga penelitian juga berperan penting dalam pendalaman pengetahuan terkait pencemaran mikroplastik serta diseminasi informasi terhadap kalangan ilmiah dan masyarakat. Saat ini, Pusat Penelitian Kimia LIPI, bekerja sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Bali Focus, sedang melakukan penelitian pengembangan metode untuk pengujian mikroplastik dan phtalate pada ikan di perairan Indonesia.

 

Referensi

  1. Andrady AL. 2011. Microplastics in the marine environment. Marine Pollution Bulletin 62: 1596-1605. Cordova MR, Hadi TA. 2018b.
  2. Cordova MR, Hadi TA. 2018b. Occurrence and abundance of microplastics in coral reef sediment: a case study in Sekotong, Lombok-Indonesia. AES Bioflux 10 (1): 23-29.
  3. Cordova MR, Hernawan UE. 2018a. Microplastics in Sumba waters, East Nusa Tenggara. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science 162: 012023.
  4. Cordova MR, Wahyudi AJ. 2016. Microplastics in the deep-sea sediment of southwestern Sumatran waters. Marine Research Indonesia 41 (1): 27-35.
  5. Eriksen M, Lebreton LCM, Carson HS, Thiel M, Moore CJ, Borerro JC, Galgani F, Ryan PG, Reisser J. 2014. Platic pollution in the world’s oceans: more than 5 trillion plastic pieces weighing over 250,000 tons afloat at sea. Plos One 9 (12): e111913.
  6. Jambeck JR, Geyer R, Wilcox C, Siegler TR, Perryman M, Andrady A, Narayan R, Law KL. 2015. Plastic waste inputs from land into the ocean. Science 347 (6223): 768-771.
  7. Rochman CM, Tahir A, Williams SL, Baxa DV,  Lam R, Miller JT, Teh F, Werorilangi S, Teh SJ. 2015. Anthropogenic debris in seafood: plastic debris and fibers from textiles in fish and bivalves sold for human consumption. Nature Scientific Reports 5:14340.
  8. Murray F, Cowie PR. 2011. Plastic contamination in the decapod crustacean Nephrops norvegicus (Linnaeus, 1758). Marine Pollution Bulletin 62 (6): 1207-1217.
  9. Baalkhuyur F, Bin Dohaish EA, Elhalwagy MEA, Alikunhi NM, AlSuwailem AM, Røstad A, Coker DJ, Berumen ML, Duarte CM. 2018. Microplastics in the gastrointestinal tract of fishes along the Saudi Arabian Red Sea coast. Marine Pollution Bulletin 131: 407-415.
  10. Barboza LGA, Vethaak AD, Lavorante BRBO, Lundebye A, Guilhermino L. 2018. Marine microplastic debris: an emerging issue for food security, food safety and human health. Marine Pollution Bulletin 133: 336-348.
  11. Earth Day Network. 2018. Fact sheet: single-use plastics. [Accessed on October 14, 2018]. https://www.earthday.org/2018/03/29/fact-sheet-single-use-plastics/.