Kamis, 14 November 2019 - 10:27:17 WIB
Uji Kadar Mikotoksin dan Kadar Air, Upaya Memantau Mutu Jagung
Diposting oleh : Balai Pengujian Mutu Produk Tanaman, Kementerian Pertanian
Kategori: Artikel - Dibaca: 5502 kali

Upaya pencapaian swasembada jagung dilatarbelakangi oleh permintaan jagung yang terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan pendapatan.  Jika daya beli masyarakat semakin tinggi, permintaan terhadap komoditas daging, terutama daging ayam semakin tinggi pula. Ketersediaan daging ayam sangat bergantung pada ketersediaan pakan yang berasal dari jagung.

Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2015-2019 menyebutkan langkah operasional peningkatan produksi jagung terbagi menjadi dua, yaitu peningkatan luas penanaman (ekstensifikasi) dan peningkatan produktivitas (intensifikasi). Dalam kegiatan produksi jagung, energi yang dibutuhkan untuk budidaya sekitar 32%, sedangkan untuk penanganan panen dan pasca panen sekitar 72%. Hal ini menunjukkan titik kritis dan curahan kerja lebih besar pada tahap panen dan pasca panen. Kerusakan jagung akibat penanganan pasca panen yang salah dapat terjadi pada setiap tahap pemanenan, pengangkutan, pengeringan, pemipilan dan penyimpanan.

Dalam rangka memantau mutu jagung, Kementan melalui Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, secara rutin melakukan pengambilan sampel uji. Pemantauan dilakukan di beberapa lokasi yang merupakan sentra produksi jagung di Indonesia, untuk mengetahui mutu jagung yang di produksi oleh petani di wilayah tersebut serta memberikan pengarahan cara penanganan pasca panen yang baik. Sampel uji Jagung diambil dari petani dan pengepul yang berlokasi di area tanam, tempat pengeringan, gudang maupun kios. Selanjutnya dilakukan pengujian di laboratorium.

Gambar 1. Pengambilan sampel dari pengepul.

Gambar 2. Pengeringan jagung oleh petani.

Jagung harus memenuhi standar sesuai kebutuhan industri untuk menghasilkan pakan berkualitas sesuai kebutuhan nutrisi ternak. Jagung dinyatakan bermutu baik jika memenuhi persyaratan mutu jagung pakan berdasarkan SNI 4883:2013 sebagai berikut.

                        Persyaratan Mutu Jagung Pakan, SNI 4483:2013

No

Parameter

Satuan

Persyaratan

Mutu I

Mutu II

1

Kadar air (maks)

%

14,0

16,0

2

Protein kasar (min)

%

8,0

7,0

3

Mikotoksin :

 

 

 

 

- Aflatoksin

µg/kg

100,0

150,0

 

- Okratoksin

µg/kg

20

Tidak dipersyaratkan

4

Biji rusak (maks)

%

3,0

5,0

5

Biji berjamur (maks)

%

2,0

5,0

6

Biji pecah (maks)

%

2,0

4,0

7

Benda Asing (maks)

%

2,0

2,0

 

Parameter kerusakan biji jagung dalam SNI 4483:2013 dapat dikategorikan menjadi rusak fisik, rusak kimia dan rusak biologis. Parameter rusak fisik antara lain kadar air, biji rusak, biji retak hingga pecah yang disebabkan proses pemipilan dengan mesin perontok yang kurang bagus, seperti alat yang dibuat manual berbahan kayu dan paku/kawat . Rusak kimia adalah dekomposisi kimia seperti penurunan kadar protein. Rusak kimia tidak dapat diamati secara visual. Rusak biologis disebabkan oleh aktivitas jamur selama proses penyimpanan. Salah satunya jamur Aspergillus flavus yang menghasilkan racun bernama Aflatoksin. Rusak biologis berawal dari rusak fisik. Biji jagung yang tidak utuh akan mudah ditumbuhi jamur.

Gambar 3. Jagung tidak tercemar aflatoksin.

Gambar 4. Jagung tercemar aflatoksin.

Aflatoksin sebagai hasil metabolit sekunder dari Aspergillus flavus memiliki efek akut pada dosis tinggi serta efek kronis menahun. Dampaknya terhadap ternak yaitu dapat menghambat peningkatan bobot ternak unggas dan ruminansia, mengurangi produksi telur, menurunkan imun respon (daya kekebalan tubuh ternak), jumlah kematian ternak tinggi, mempengaruhi absorpsi mineral Ca, Cu, Fe, dan P, kerusakan organ hati serta menyebabkan residu pada produk ternak. Sementara pada manusia, dampak afaltoksin baru terlihat dalam jangka panjang, yaitu bersifat karsinogenik, nefrotoksik (pernafasan), neurotoksik (syaraf), diuresis, haemoragik (pendarahan), hepatotoksik (hati) dan oestrogenik (kandungan).

Terdapat empat jenis aflatoksin yaitu Aflatoksin B1, B2, G1 dan G2. B singkatan dari Blue, G singkatan dari Green, merupakan warna yang terbentuk saat aflatoksin berfluorosensi. Aflatoksin B2 dan G2 merupakan turunan dari aflatoksin B1 dan G1 yang tumbuh di media asam (katalisator asam), memiliki kepolaran yang lebih besar dan daya racun yang lebih kecil.

Okratoksin dihasilkan dihasilkan oleh Aspergillus ochraceus. Terdapat 3 jenis Okratoksin yaitu Okratoksin A (OA), Okratoksin B (OB) dan Okratoksin C (OC). Toksin Okratoksin A paling banyak ditemukan di alam dan bersifak karsinogen, penyebab keracunan ginjal pada ternak dan manusia. Okratoksin larut dalam lemak sehingga dapat tertimbun di bagian daging yang berlemak.

Uji Kadar Mikotoksin

Balai Pengujian Mutu Produk Tanaman (BPMPT) melalukan uji kadar aflatoksin pada Jagung dengan dua teknik uji, yaitu uji kadar aflatoksin total secara Fluorometri dengan instrumen Fluorometer dan uji kadar tiap jenis aflatoksin B1, B2, G1 dan G2 secara kromatografi menggunakan instrumen High Performance Liquid Chromatography (HPLC) detektor Fluorosence. Biaya pengujian kedua teknik uji berbeda dengan mempertimbangkan jumlah bahan kimia yang digunakan, teknik fluorometri lebih murah dibanding teknik kromatografi. Tarif pengujian sesuai dengan PP no. 35 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif PNBP yang berlaku di Kementerian Pertanian.

Metode uji Aflatoksin di BPMPT telah terverifikasi dengan mengacu pada AOAC Official Methode 991.31, Aflatoxins in Corn, Raw Peanuts, and Peanuts Butter, Immunoaffinity Column (Aflatest) Methods (yang dikembangkan). Prinsip pengujiannya adalah aflatoksin dalam sampel diekstraksi dengan campuran pelarut methanol:H2O (70:30). Ekstrak disaring, diencerkan dengan Phosphate Buffer Saline (PBS) dan dibersihkan dengan Immunoaffinity Column yang mengandung antibody monoclonal yang spesifik untuk aflatoksin B1, B2, G1, dan G2. Aflatoksin diisolasi, dimurnikan, dan dipekatkan di dalam kolom dan dielusi dengan methanol.

Gambar 5. Preparasi sampel jagung.

Penetapan kadar aflatoksin total dilakukan dengan fluorometer setelah ekstrak sampel direaksikan dengan larutan Bromide, sedangkan penetapan kadar tiap jenis aflatoksin B1, B2, G1 dan G2 dilakukan dengan injek ekstrak sampel langsung ke HPLC dengan fase gerak metanol dan air.

Gambar 6. Analisa dengan fluorometer.

Gambar 7. Analisa dengan HPLC.

Kedua teknik uji aflatoksin tersebut sama-sama memiliki keakuratan tinggi karena dilakukan secara kuantitatif, berbeda dengan metode semi kuantitatif rapid test. Tergantung keperluan, jika hanya ingin mengetahui kadar aflatoksin total cukup dengan teknik uji fluorometri menggunakan Fluorometer. Namun jika ingin mengetahui lebih lanjut kadar tiap jenis aflatoksin, atau ingin mengetahui kadar aflatoksin B1 yang paling berbahaya bisa dengan teknik uji kromatografi menggunakan HPLC detektor Fluoresence.

Uji kadar Okratoksin dilakukan dengan prosedur yang sama dengan uji Aflatoksin total. Berbeda pada penggunaan jenis Immunoaffinity Column, dipilih yang mengandung antibody monoclonal yang spesifik untuk Okratoksin.

Uji Kadar Air

Metode uji kadar air yang dilakukan di Balai Pengujian Mutu Produk Tanaman  mengacu pada AOAC Official Method 4.1.03 Loss On Drying for Feeds (yang dikembangkan). Prinsip pengujian dilakukan dengan cara pengeringan dalam oven selama 3 jam pada suhu 130 oC. Berat yang hilang merupakan jumlah air yang dikandung dalam sampel. Hasil uji dinyatakan dengan memperhitungkan faktor koreksi kadar air.

[Dian Fatikha A, S.Si, MT]