Kamis, 14 November 2019 - 10:55:52 WIB
Tantangan Pengujian Bisphenol A Bagi Laboratorium Pengujian
Diposting oleh : Pusat Penelitian Kimia LIPI
Kategori: Artikel - Dibaca: 3434 kali

Bisphenol A (BPA) dengan nama senyawa kimia berdasarkan IUPAC [2,2-bis(4- hydroxyphyenyl)propane] pertama kali disintesis pada tahun 1891 sebagai estrogen sintetis untuk industri farmasi. Kemudian, pada tahun 1950, produksi BPA dilanjutkan setelah ditemukan dapat dimanfaatkan sebagai resin epoksi dan bahan dasar untuk pembuatan plastik polikarbonat. Penggunaan BPA yang sangat meluas di industri dengan perkiraan jumlah penggunaan mencapai 100 ton/ pertahun dilepaskan ke lingkungan (Vogel, 2009; Varayoud, dkk, 2014).
BPA digunakan untuk memproduksi bahan plastik yang sering digunakan sebagai wadah penyimpan makanan. Dari hasil studi penelitian telah menunjukkan bahwa senyawa ini dapat terlarut ke dalam makanan dan selanjutnya akan tertelan ke dalam tubuh. BPA juga digunakan dalam kertas termal dan beberapa resin untuk gigi. Mengingat bahwa BPA digunakan dalam banyak produk yang sering digunakan oleh manusia, sehingga tidaklah mengherankan apabila
pengujian 90% sampel urin masyarakat di Amerika menunjukan hasil positif terkandung BPA (Vogel, 2009; Varayoud, dkk, 2014).

BPA banyak digunakan di berbagai macam produk dalam kehidupan sehari-hari sehingga paparan senyawa ini terhadap manusia sangatlah besar. Hal ini menjadi suatu bahan perhatian terkait dengan efek senyawa ini terhadap manusia. Pada tahun 1970, Program nasional toksisitas di Amerika menemukan senyawa ini merupakan toksin bagi organ reproduksi. Pada tahun 2008 Kanada menempatkan larangan terbatas penggunaan BPA, serta mengklasifikasikannya sebagai zat beracun. Food and Drug Administration (FDA) menyatakan bahwa BPA aman pada perkiraan tingkat paparan yang berlaku saat ini. Namun, paparan BPA pada konsentrasi rendah yang berlangsung terus menerus efek negatif terhadapmkesehatanya sampai saat ini masih menjadi bahan perdebatan. Hal ini memicu produsen bahan plastik/botol minuman untuk bayi menarik peredaran produknya secara massal dari pasaran
pada tahun 2008 (Vogel, 2009).

USEPA pada tahun 2010 memasukan BPA kedalam fokus yang diteliti keberadaanya pada lingkungan dan kesehatan manusia (Bills, dkk, 2015). Hasil penelitian yang telah dipublikasikan menyebutkan sejumlah bahan kimia yang terpapar pada wanita hamil di Amerika Serikat ditemukan bahwa BPA terdapat pada 96% populasi sampel wanita hamil tersebut. Selanjutnya botol plastik kemasan air mineral dan air minum beraroma lainya dibuat menggunakan BPA terjadi peningkatan batas bahaya kimia dari urin yang dihasilkan mendekati 70%. Hal ini menyebabkan banyak pertanyaan di masyarakat mengenai kemungkinan terjadinya migrasi BPA dari botol yang digunakan sebagai wadah kemasan tersebut yang diakibatkan oleh kondisi lingkungan tempat penyimpanan yang tidak memadai seperti faktor
suhu penyimpanan dan radiasi sinar matahari (Elobeid, dkk, 2012)

Hidrolisis ikatan ester polimer yang mengandung BPA atau residu monomer yang tidak terpolimerisasi telah menyebabkan penyebaran kontaminasi BPA tersebut. Monitoring kadar BPA di lingkungan perairan atau sungai sebagai akibat dari saluran pembuangan limbah rumah tangga dan limbah industri pada saat ini telah banyak dilakukan di berbagai negara di dunia(Santhi, dkk, 2012). Paparan BPA terhadap organisme akuatik ini terjadi melalui proses leaching atau terlarutkan dari produk produk yang mengandung BPA termasuk di dalamnya adalah pipa PVC. BPA masuk ke dalam lingkungan perairan secara terus menerus melalui reaksi tidak langsung dalam artian mengalami proses degradasi yang berbeda-beda, jika dilihat dari input sampel air yang terkontaminasi ini menunjukan tingkat konsentrasi yang rendah.

Konsentrasi tinggi BPA di perairan dapat terjadi pada lokasi di mana terjadi tempat pembuangan limbah seperti limbah proses landfill dan kontak secara langsung antara resin atau polimer tersebut dengan perairan (Bills, dkk, 2015). Sebagai akibat dari bahaya yang dapat ditimbulkan oleh BPA yang masuk ke dalam tubuh manusia, maka beberapa negara di dunia membuat regulasi untuk mengendalikan tingkat paparan BPA yang masih dapat diizinkan dan tidak berakibat pada kesehatan manusia seperti tampak pada Tabel I.1.
     

Tabel I.1. Batas asupan BPA untuk asesmen kesehatan manusia

No

Regulator

Batas Asupan
(mg/kg/hari)

Keterangan

1

USEPA (Integrated Risk Information System; IRIS (1993))

0,05

 

2

FDA (2008)

0,005

Secara sistemik dapat menurunkan berat badan dan merusak hati

0,05

Menyebabkan gangguan organ reproduksi

3

EFSA (2006, 2008a-b) and EC (2003, 2008

0,05

 

4

Japan (AIST, 2004)

0,05

Secara sistemik dapat menurunkan berat badan

0,5

Menyebabkan gangguan organ reproduksi

merusak hati

0,046

(USEPA, 2010).

Di Indonesia sendiri belum tersedia regulasi yang menyatakan batasan migrasi BPA terhadap produk pangan, regulasi yang tersedia adalah peraturan Kepala BPOM No 20 Tahun 2019 tentang kemasan bahan pangan dimana BPA termasuk kedalam bagian bahan pemodifikasi plastik yang masuk kedalam lampiran zat kontak pangan tanpa persyaratan batas migrasi.

Seiring dengan semakin berkembangnya informasi terkait dengan bahaya, jenis barang, serta keberadaan migrasi Bisphenol A di masyarakat, hal ini meningkatkan perhatian dan kepedulian masyarakat untuk selektif memilih produk produk yang tidak mengadung BPA. Dampaknya adalah para produsen bahan plastik sekarang lebih banyak memproduksi barang barang yang dalam proses pembuatannya tidak mengandung BPA, sehingga tidakllah mengherankan jika sekarang banyak produk kemasan plastik yang dalam produknya mencantumkan claim bebas
BPA (
BPA Free).

Dengan semakin banyaknya peredaran bahan plastik yang memiliki klaim bebas BPA di pasaran dengan jenis barang yang sama tetapi memiliki varian harga yang berbeda-beda, sehingga menimbulkan pertanyaaan apakah klaim mengenai produk tersebut memang benarBPA atau hanya sebatas pengakuan saja bahwa produk tersebut bebas BPA menjadi suatu pertanyaan yang harus dijawab untuk menjamin keamanan, kesehatan masyarakat. Hal tersebut membutuhkan pembuktian empiris yang dapat dipercaya untuk bisa meyakinkan masyarakat. Salah satunya adalah dengan melakukan pengujian terhadap produk tersebut untuk memastikan benar bahwa produk tersebut bebas dari BPA. Peran laboratoroum pengujian ini sangatlah penting, karena tanpa adanya hasil pengujian maka suatu keputusan tidak dapat diambil secara tepat. Mengingat regulasi migrasi BPA pada produk makanan dan minuman yang ada di dunia amatlah kecil sekali, ini merupakan tantangan tersendiri bagi laboratorium dalam melakukan pengujiannya, utamanya infrastruktur laboratorium yang digunakan haruslah memadai dalam arti diperlukan peralatan yang canggih dan sensitif sehingga mampu mendeteksi kandungan migrasi BPA hingga level ppb (part per billion). Peningkatan infrastruktur ini berimplikasi terhadap penyediaan anggaran yang cukup untuk bisa memenuhi kebutuhan peralatan tersebut.

Cara lain yang dapat ditempuh adalah mencoba untuk mengaplikasikan metode pengujian yang efektif dengan melakukan proses prakonsentrasi/pemekatan terhadap sample pengujian, sehingga sampel dapat dianalisis dengan menggunakan peralatan relatif lebih sederhana. Penggunaan metode pengujian yang selektif dan spesifik untuk BPA serta melalui tahapan proses prakonsentrasi merupakan suatu cara yang paling efektif untuk menguji migrasi BPA
dari produk kemasan ke bahan makanan.

Untuk mengatasi selektivitas tersebut kemudian dikembangkanlah polimer bercetakan molekul (Molecularly imprinted polymers/MIP) yang dapat diaplikasikan untuk mengenali molekul
target analit. MIP ini dibuat dengan cara sintesis monomer dengan zat
cross-link dan templat yang berupa senyawa target membentuk suatu polimer yang memiliki gugus fungsi yang dapat mengikat target tersebut. Sehingga dengan meningkatnya selektivitas maka limit deteksi dari metode analisis akan menjadi lebih sensisitif dan dapat memenuhi persyaratan regulasi yang ketat.