Kamis, 14 November 2019 - 18:25:32 WIB
Dilema Minyak Goreng Wajib Kemasan
Diposting oleh : LRPPI Residu Pestisida
Kategori: Artikel - Dibaca: 928 kali

Larangan peredaran minyak goreng curah oleh Kementerian Perdagangan yang rencananya akan berlaku mulai 1 januari 2020 akhirnya batal terlaksana setelah sebelumnya sempat menuai kontroversi. Pemerintah dituding lebih berpihak kepada pengusaha kelas atas sementara sektor usaha kecil menengah terancam gulung tikar. Di sisi lain pemerintah bersikeras bahwa kebijakan tersebut dalam rangka melindungi hak konsumen dalam menjamin mutu dan keamanan pangan, khususnya minyak goreng. Meskipun batal, pemerintah tetap menghimbau penjual untuk menyediakan minyak goreng dalam kemasan.

Gencarnya pemerintah dalam mendorong peralihan minyak goreng curah ke minyak goreng kemasan tentunya cukup beralasan. Hal ini selaras dengan Undang-Undang No. 8 tahun 1999  tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang No. 18 tahun 2012 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan. Kebijakan minyak goreng wajib kemasan juga sudah lama diatur melalui Permendag No. 09/M-DAG/PER/2/2016 tentang Perubahan Kedua Atas Permendag No. 80/M-DAG/PER/10/2014 tentang Minyak Goreng Wajib Kemasan, namun hingga kini kebijakan tersebut belum jelas penerapannya. Kurangnya persiapan industri terkait masalah pengemasan disinyalir sebagai salah satu kendala.

Isu kesehatan tentunya harus menjadi fokus perhatian mengingat kualitas minyak goreng curah yang beredar di pasaran patut dipertanyakan. Siti Aminah (2010) dalam penelitiannya menemukan bahwa kualitas minyak goreng curah dari sebelum dilakukan penggorengan kurang baik. Ini ditunjukkan dari hasil analisis bilangan peroksida yang melebihi mutu standar. Dari hasil penelitian Yulia dkk (2017) juga mendapatkan bilangan peroksida minyak goreng curah pada penyimpanan terbuka yang berasal dari semua pasar tradisional di daerah Jabodetabek tidak memenuhi persyaratan SNI. Tingginya bilangan peroksida merupakan salah satu indikator tingkat kerusakan minyak karena adanya proses oksidasi sehingga dapat menimbulkan bau tengik. Oksidasi dapat berlangsung bila terjadi kontak antara oksigen dan minyak serta pengaruh suhu dan cahaya. Penyimpanan minyak goreng curah di pasar tradisional sebagian besar terkena langsung sinar matahari dan sebelum dikemas pun dibiarkan  terbuka (Yulia dkk, 2017). Ini menyebabkan penyerapan uap air dari udara sehingga mampu  memicu pertumbuhan mikroba yang dapat memproduksi enzim untuk menghidrolisis minyak yang dapat menyebabkan ketengikan pada minyak (Ketaren, 1986 dalam Yulia dkk, 2017). Kemudian minyak goreng curah didistribusikan dalam bentuk tanpa kemasan sehingga paparan oksigen, cahaya dan suhu tinggi pada minyak goreng curah lebih besar dibanding minyak kemasan sehingga minyak goreng curah lebih mudah teroksidasi dibandingkan minyak kemasan mengakibatkan minyak goreng curah menjadi lebih mudah rusak dan berbau tengik (Aminah, 2010). Ini pun selaras dengan temuan Manurung dkk (2018) dalam penelitiannya tentang perubahan kualitas minyak goreng curah akibat lamanya pemanasan. Faktor lain yang membedakan minyak goreng curah dan kemasan adalah tingkat penyaringannya. Dimana minyak goreng curah hanya melalui satu kali proses penyaringan sehingga tingkat kemurniannya juga rendah. Sementara minyak kemasan melalui lebih dari dua kali proses penyaringan sehingga tingkat kemurnian dari asam-asam lemak jenuh cukup tinggi. Ini dikarenakan pada minyak kemasan ditambahkan anti oksidan sehingga minyak tidak cepat rusak dalam pemanansan (Nainggolan, 2016).

Penulis Nurmalia, Balai Pengujian Mutu Barang.