Jumat, 25 September 2020 - 11:52:23 WIB
Cokelat, Usaha Untuk Menaikkan Nilai Gizi dan Nilai Ekonomi Di Balik Kenikmatannya
Diposting oleh : LRPPI Residu Pestisida
Kategori: Artikel - Dibaca: 1882 kali

Cokelat dapat dengan mudah ditemukan di berbagai negara, tak terkecuali di Indonesia. Selain sebagai penghasil kopi terbaik, Indonesia juga dikenal dengan produksi cokelatnya. Bahkan cokelat sudah menjadi barang perdagangan sejak negara ini belum merdeka. Indonesia merupakan produsen kakao terbesar ke enam di dunia setelah Kamerun dan Nigeria, serta produsen kakao terbesar di Asia, dengan rata-rata produksi 240.000 metric ton per tahun.

Di tengah pandemi Covid19 yang tengah melanda dunia, industri pengolahan cokelat di Indonesia juga mengalami dampak yang cukup signifikan. Penjualan cokelat hasil produksi produsen lokal Indonesia, Krakakoa, juga mengalami dampaknya. Cokelat yang biasanya dijadikan sebagai buah tangan bagi para wisatawan, mengalami penurunan penjualan, karena selama pandemi Covid19 sektor pariwisata mengalami kelesuan. Perubahan segmentasi pasar dimodifikasi oleh produsen, agar produknya dapat dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, tanpa mengurangi kualitas dan estetika produknya.

Keunggulan ataupun peluang yang dimiliki oleh produsen cokelat di Indonesia antaralain: dekat dengan bahan baku (biji kakao) dan pasar yang besar, yang akibat dari populasi penduduk Indonesia yang sangat banyak. Sedangkan tantangan yang dihadapi oleh produsen cokelat Indonesia adalah kualitas biji kakao yang sangat rendah, proses produksinya yang sangat rumit, tingkat kelembaban udara dan panas yang tinggi (tantangan alam), serta konsumsi per kapita penduduk yang rendah. Hal tersebut menjadi tantangan yang perlu dicarikan solusi dan jalan keluar yang baik untuk kepentingan bersama.

Dari cukup panjangnya proses pengolahan kakao, rupanya proses fermentasilah yang terpenting. Proses fermentasi pada cokelat akan berpengaruh terhadap terciptanya rasa dari cokelat itu sendiri. Proses yang memakan waktu enam hingga tujuh hari tersebut akan memunculkan acidity alami cokelat secara natural atau organik. Proses fermentasi juga yang menentukan perbedaan antara cokelat artisan dengan cokelat biasa.

Berbeda dari proses fermentasi, proses roasting juga menentukan cita rasa pahit alami dari sebuah cokelat. Roasting cokelat dikatakan cukup hanya dilihat dari perubahan warna biji cokelat yang menjadi kehitaman saja. Barulah setelah roasting dirasa cukup, untuk selanjutnya biji cokelat diolah hingga menjadi beragam varian olahan kakao lainnya.

            Beralih dari sudut pandang industri pengolahan cokelat, ada beberapa cara lain yang dilakukan oleh para akademisi, peneliti dan pengampu keilmuan terkait untuk menaikkan nilai gizi cokelat sendiri tanpa mengurangi citarasanya. Panjangnya proses pengolahan cokelat menjadikan kandungan antioksidan utama dalam cokelat, polifenol, banyak berkurang.

Adapun manfaat polifenol sendiri antaralain sebagai antioksidan, anti inflamasi, mengurangi resiko penggumpalan darah, mengurangi resiko penyakit kardiovaskular, berkontribusi terhadap aliran darah yang normal. Beberapa proses yang berpotensi mengurangi kandungan polifenol dalam biji kakao antaralain mulai dari proses fermentasi yang berpotensi menghilangkan sampai 20%, proses pengeringan yang berpotensi menghilangkan sampai   30 – 50%, proses roasting yang berpotensi menghilangkan sampai 60% dan beberapa proses lainnya yang akan menghilangkan kandungan polifenol dari produk olahan kakao, sehingga kandungan polifenol dalam cocoa liquor hanya tersisa < 20%, padahal dari cocoa liquor menjadi cokelat batangan harus melewati beberapa tahapan lagi.

Trend umum yang dilakukan untuk mempertahankan polifenol sebagai antioksidan alami yang terkandung dalam biji kakao, dengan beberapa langkah berikut: memodifikasi proses pengolahan biji kakao, seperti menghilangkan tahapan yang dianggap dapat mengurangi kandungan polifenol dari biji kakao, jika mungkin; suplementasi kandungan polifenol maupun kandungan fungsional lainnya pada produk olahan kakao, seperti penambahan kandungan kayumanis untuk menaikkan nilai gizinya; mengolah menjadi minuman cokelat yang mudah dikonsumsi; membuat olahan cokelat probiotik; menggantikan gula dengan bahan lain yang lebih memberikan manfaat bagi kesehatan; menghasilkan single origin chocolate dari berbagai daerah penghasil, seperti halnya kopi yang memiliki kekhasan rasa dan aroma dari setiap daerah penghasilnya, tergantung dari karakteristik tanah di daerah tempat tumbuhnya tanaman kakao, cara ini memerlukan waktu dan tahapan yang Panjang, karena ada 32 provinsi yang menghasilkan biji kakao di Indonesia, diperlukan identifikasi dan penetapan kekhasan kakao yang dihasilkan oleh masing-masing provinsi; menghasilkan cokelat yang tahan terhadap pemanasan agar kandungan polifenol dalam biji kakao tidak mudah hilang dengan panjangnya proses pengolahan; membuat cokelat printing tiga dimensi, untuk menaikkan nilai estetika juga nilai ekonomis cokelat.

Di samping beberapa langkah modifikasi seperti yang disebutkan di atas, beberapa hal perlu dijadikan pertimbangan dalam melakukan pengolahan kakao, yaitu atribut kualitas dan aspek sensori untuk menjaga kualitas gizi juga citarasa yang dapat diterima oleh masyarakat secara luas. Dengan Langkah-langkah yang sudah mulai dirintis diatas, diharapkan berbagai pemangku kepentingan terkait dapat menangkap pesan yang disampaikan dan menerjemahkannya ke dalam langkah nyata untuk perbaikan ke depannya.

Selain dari sudut pandang industri dan akademisi/peneliti/pengampu keilmuan terkait, pemerintah juga berusaha mengambil bagian dengan menerapkan berbagai peraturan terkait kakao dan produk cokelat dalam rangka menjamin mutu produk yang dihasilkan, mulai dari sertifikasi untuk bahan baku biji kakao, sertifikasi untuk industry pengolahan kakao dan turunannya, serta sertifikasi untuk produk akhir cokelat itu sendiri. Sertifikat yang harus dimiliki oleh produk akhir cokelat antaralain: sertifikat halal, sertifikat SPPT SNI kakao bubuk (SNI wajib) dan sertifikat SNI produk kakao (SNI sukarela).

Sertifikasi halal pada industry kakao sesuai dengan UU no.33 tahun 2014 tentang jaminan produk halal, yang mewajibkan produk pangan (termasuk cokelat) wajib memiliki sertifikasi halal. Sertifikasi halal pada industry kakao didahului dengan pemeriksaan bahan baku dan proses pengolahannya, serta ditentukan titik kritis penyebab ketidakhalalan produk. Untuk bahan baku sertifikasinya mulai dari biji kakao; bahan tambahan yang dimasukkan dalam proses produksi seperti emulsifier, gula, buah (harus bisa tertelusur) dan dilengkapi dengan dokumen pendukung atau bersertifikat halal; bahan penolong yang digunakan apakah menggunakan bahan halal atau non halal. Untuk proses produksinya mulai dari sertifikasi jaminan halal, pengecekan peralatan produksi, proses pencucian, pemisahan produksi, sampai ke penyimpanan, apakah ada resiko terjadinya kontaminasi silang.

Pemberlakuan SNI kakao bubuk secara wajib sesuai dengan ketentuan SNI 3747:2009, dimana skema sertifikasinya ada 2 yaitu skema sertifikasi tipe 5, untuk sertifikasi produk yang menggabungkan antara asesmen proses produksi, audit system manajemen yang relevan, pengujian sampel produk serta surveillance; dan skema sertifikasi tipe 1b, untuk sertifikasi produk yang hanya menilai kesesuaian produk per batch produksi atau per-shipment pengiriman (untuk produk impor), sehingga tidak diperlukan adanya audit system manajemen, dan asesmen proses produksi, tetapi dengan pengujian atau inspeksi setiap batch pengiriman dengan melakukan sampling yang sesuai dan mewakili produk yang akan disertifikasi. Dengan penerapan sistem sertifkasi yang tepat guna untuk produk kakao dan turunannya, diharapkan nilai jual produk akan meningkat dan menambah daya saing produk di pasar nasional maupun internasional.

 

(Disarikan dari hasil webinar yang diselenggarakan oleh Universitas Negeri Sebelas Maret, Solo, pada tanggal 19 Agustus 2020)

 

 

(Rosaria Nainggolan, Laboratorium Kimia dan Mikrobiologi, Ditstandalitu, Kemendag)